Jumat, 17 Juli 2009

Kontemplasi Kontowijoyo Dalam
Makrifat Daun – Daun Makrifat

Ayu Ardiyanti Rifai

A. Kuntowijoyo dan Sastra Profetik
Karya sastra adalah kegiatan kreatif yang tidak cukup hanya berkhayal dan berimajinasi. Lebih dari itu karya sastra merupakan kaca cermin kehidupan manusia dengan berbagai macam konflik dan permasalahan. Sastra merupakan sebuah karya yang sarat dengan keindahan dan misteri, baik itu misteri bentuk maupun maknanya.
Sastrawan yang baik adalah seseorang yang berkarya dengan idealisme dan dedikasi tinggi untuk menyampaikan gagasan dan kreativitasnya, tidak hanya menggunakan imajinasi dan khayalan semata, namun juga mengikutsertakan hati nurani dalam kerja kreatifnya. Salah seorang penulis dan sejarahwan di Indonesia adalah Kuntowijoyo. Penulis kelahiran Yogyakarta 1944 itu banyak menuliskan karya sastra yang sarat dengan kontemplasi atau perenungan. Banyak karyanya yang merupakan gambaran keimanannya kepada Tuhan, seperti misalnya novel Khotbah di Atas Bukit (1976), antologi puisi Suluk Awang-Uwung (1976), dan antologi puisi Makrifat Daun-Daun Makrifat (1995).
Meskipun Kuntowijoyo banyak menuliskan karya yang bersinggungan dengan Tuhan, penulis tersebut tidak pernah menyebut dirinya sebagai penulis sufistik, Kuntowijoyo lebih suka menyebut karyanya sebagai sastra profetik. Sastra profetik merupakan karya sastra sufi yang dipandang masih relevan dengan dunia modern, berkenaan dengan kenabian (KBBI,1999:789). Sastra sufi merupakan sastra yang hanya bicara tentang Tuhan semata, sedangkan sastra profetik merupakan pengisahan hubungan Tuhan dan manusia, sekaligus peduli dengan hubungan manusia dengan manusia lain, dan hubungan manusia dengan alam semesta, seperti tauladan yang diberikan Rasulullah dan para Nabi. Sastra profetik cenderung menggunakan alam sebagai bahan perenungan.
Seperti dalam salah satu karya Kuntowijoyo, antologi puisi Makrifat Daun-Daun Makrifat (1995). Kuntowijoyo menyampaikan pada kata pengantar pada antologi puisi tersebut bahwa sajak-sajak ini adalah sebuah pemberontakan, pemberontakan metafisik terhadap materialisme (Kuntowijoyo, 1995). Berdasarkan hal tersebut, sebelum membaca isi di dalamnya, pembaca bisa meraba-raba bahwa sajak-sajak yang tersaji merupakan sindiran terhadap manusia yang semakin hedonis. Melalui tulisannya itu, penulis melakukan pemberontakan halus terhadap keadaan yang seolah-olah telah melupakan Tuhan.

B. Antologi Puisi Makrifat Daun-Daun Makrifat
Antologi puisi Makrifat daun-Daun Makrifat terdiri dari lima judul sajak, yaitu Sajak-sajak yang Dimulai dengan Bait Al-Barzanji (hal 9), Storrs- New York, 1973-1974 (hal 17), Menjadi Saksi Pemogokan (hal 19), Aku Cemas Bumi Semakin Menyusut (hal 20), dan Pertentangan ialah Hukum Surgawi (hal 42). Antologi tersebut terdiri dari 61 halaman.
Satu-satunya sajak dalam antologi tersebut yang tidak mengungkapkan tentang religiusitas adalah sajak yang berjudul Menjadi Saksi Pemogokan. Sajak yang hanya terdiri dari dua bait dan tujuh baris tersebut, bisa diinterpretasikan sebagai penderitaan masyarakat kelas bawah atau para pekerja rendahan (buruh-buruh pabrik) karena banyak diperas tenaganya dengan kompensasi yang tidak sesuai, sehingga mereka harus berjuang menuntut hak-haknya yang kadang kala tidak diberikan. Berikut kutipannya.
(Menjadi saksi pemogokan)

Kusucikan waktu dengan kata
sehingga para pekerja
kembali ke pabrik

Aku tak pernah sangsi
kemerdekaan, tangan gaib semesta
mengalir lewat benang elektronik
dan kesadaran mulia
Antologi “Makrifat Daun-Daun Makrifat”, dimulai dengan sajak yang berjudul Sajak-sajak yang dimulai dengan Bait Al-Barzanji yang merupakan gambaran kecintaan Kuntowijoyo terhadap Rasulullah dengan menuliskan pujian-pujian bagi Rasul. Sajak tersebut terdiri dari tujuh sajak yang semuanya dimulai dengan puji-pujian kepada Rasul, sesuai dengan judulnya. Berikut kutipannya.
Ya, Allah. Taburkan wangian
di kubur Nabi yang Mulia
dengan semerbak salawat
dan salam sejahtera
..............................
Hanya saja sebutan untuk Nabi Muhammad SAW yang diganti (lihat tulisan bergaris bawah). Pada sajak kedua diganti dengan Muhammad yang mulia, selanjutnya disimbolkan dengan Matahari yang mulia, sajak selanjutnya Purnama yang mulia, kemudian berturut-turut tertulis Cahaya yang mulia, Rasul yang mulias, dan Tercinta yang mulia.
Tidak hanya sekedar puji-pujian, tapi juga pengharapan penulis agar mampu ikhlas dan berserah diri secara sempurna pada Tuhan seperti tauladannya tersebut. Hal tersebut dapat ditemukan dalam kutipan di bawah ini.
Dengan ikhlas
kutanam pohon untuk burung
yang sanggup
memuji Tuhan dengan sempurna
.........................
Selain hal tersebut di atas, bagian sajak pertama dalam antologi “Makrifat Daun-Daun Makrifat” terdapat perenungan yang digambarkan dengan alam, seperti kutipan berikut.
Sesudah membuka pintu-pintu
Aku keluar menuju ladang
Dan di antara pohon kutemukan
Senyum, danau, dan ayat Tuhan
.............................

Penulis memainkan kata-kata dan berimajinasi dengan alam, karena melalui alam manusia bisa merasakan kebesaran Tuhan. Lihat saja baris ke-2, jika direnungi lebih dalam, pembaca akan menemukan makna bahwa dengan melihat ladang yang luas dan subur harusnya manusia sangat bersyukur dengan limpahan karunia dari Tuhan. Kata pohon dipilih karena merupakan sebuah perenungan tentang kerindangan yang mampu mengayomi manusia, manfaat yang diberikan berupa kayu, buah, maupun daunnya, bahkan pepohonan mampu menjaga dan melindungi manusia dari bencana alam seperti banjir, selain itu pohon juga sangat menikmati kehidupannya dengan bergerak mengikuti arah angin, tak melawan arus, namun tetap teguh dalam pendirian. Ketika pembaca terkontemplasi dengan kata pohon, maka akan ditemukan bahwa dengan melihat dan merenung tentang pohon manusia akan selalu tersenyum, menemukan kesejukan dan kesegaran dalam hidup (yang disimbolkan dengan danau), dan menemukan semua kebesaran dan kasih sayang Tuhan.
Sajak lain yang menggunakan alam adalah salah satu sajak dalam sajak (Aku cemas bumi semakin menyusut). Selain merenung melalui alam, Kuntowijoyo juga menggunakan bahasa warna, berikut kutipannya.
Bahkan kapal mencair di batas mimpi
karena pantai semakin jauh
Tetapi tidak Engkau
Subhnallah biru
Subhanallah ungu
Subhanallah rindu

Penulis memilih berkontemplasi melalui kapal yang berlayar karena ingin menyampaikan pemikirannya bahwa semua hal yang di dunia pasti akan menghilang, seperti kapal yang berlayar akhirnya akan menjauhi pantai dan menghilang. Namun Tuhan tidak akan pernah menghilang dan tidak akan pernah meninggalkan manusia bagaimanapun keadaannya. Kuntowijoyo juga menggunakan simbol warna dalam menyampiakan pemikirannya. Warna biru menyimbolkan ketenangan, kelembutan, kesenangan, kebaikan, sedangkan warna ungu melambangkan wibawa dan keagungan (Kinayati Djojosuroto, 2007:475,476). Makna dari simbol warna tersebut merupakan gambaran tentang sedikit kebesaran Tuhan karena didahului dengan kata Subhanallah yang berarti Maha Suci Allah. Baris terakhir dituliskan Subhanallah rindu, bermakna bahwa penulis merindukan semua sifat yang baik itu.
Dalam salah satu sajaknya yang terdapat pada sajak (Pertentangan ialah hukum surgawi), penulis menyampaikan pemikirannya tentang ancaman bagi manusia yang melupakan Tuhan, lagi-lagi penulis memilih alam sebagai bahan perenungan, seperti kutipan di bawah ini.
Suatu hari kutemukan
burung di sangkar termenung membungkam
aku bertanya dan dengan sedih dia mengatakan
Mereka yang melupakan Tuhan
tak berhak mendengar burung bernyanyi

Sajak tersebut merupakan sebuah ancaman bagi manusia yang melupakan keberadaan Tuhan. Pemilihan kata-kata burung di sangkar dengan interpretasi bahwa burung yang di dalam sangkar tidak bisa terbang kemanapun, waktunya banyak digunakan untuk mengamati manusia. Burung tersebut menjadi semakin sedih karena melihat pola hidup dan tingkah laku manusia yang semakin mendewakan duniawi dan melupakan keberadaan Tuhan. Lebih jelas lagi, pada baris terakhir bisa diinterpretasikan bahwa manusia tidak punya hak untuk menikmati semua kebesaran dan keindahan yang dimiliki Tuhan ketika manusia melupakan Tuhan.

C. Perenungan
Semua sajak dalam antologi puisi “Makrifat Daun-Daun Makrifat” banyak bersuara tentang mengingatkan manusia bahwa semua alam semesta, termasuk warna-warna adalah milik Tuhan. Sehingga manusia sudah selayaknya beriman dan bertaqwa pada Tuhan sesuai tuntunan, tauladan, dan ajaran yang dibawa para utusan-Nya.
Sesuai judulnya, “Makrifat Daun-Daun Makrifat” sajak-sajak yang tersaji mengenai atau berkaitan dengan pemikiran yang mendalam tentang Tuhan. Kata Makrifat berarti pengetahuan, tingkat penyerahan diri kepada Tuhan, yang setingkat demi setingkat sehingga sampai pada tingkat keyakinan yang kuat. Kata Daun secara leksikal berarti bagian dari tumbuhan yang berfungsi sebagai alat bernafas dan mengolah zat makanan, bisa dikatakan merupakan bagian hidup dari sebuah pohon.
Judul tersebut jika diinterpretasikan mempunyai pemaknaan bahwa melalui daun (menyimbolkan tentang kehidupan), manusia perlu untuk merenung, kemudian meningkatkan pengetahuan dan kecintaan kepada Tuhan sedikit demi sedikit sehingga mampu mencapai keyakinan yang kuat. Dengan mengamati alam semesta dan lingkungan sekitar, kemudian merenungi apa yang ada di baliknya, maka manusia akan menemukan Tuhan. Hal itulah yang ingin disampaikan Kuntowijoyo dalam antologi “Makrifat Daun-Daun Makrifat”.(ayu/09)