Selasa, 09 Februari 2010

HUBUNGAN BENTUK DAN MAKNA DALAM BAHASA INDONESIA KATEGORI SINONIMI, ANTONIMI, POLISEMI: SEMANTIK BAHASA INDONESIA

Ayu Ardiyanti Rifai
IKIP PGRI Madiun

A. Pendahuluan
Bahasa merupakan hal yang tidak pernah lepas kehidupan manusia. Bahasa mempunyai peran yang penting bagi manusia, selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga digunakan untuk menjalankan setiap aktivitas manusia dalam berbagai bidang. Membahas tentang bahasa sebagai alat komunikasi, maka tidak akan bisa lepas dari kajian semantik. Semantik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari tentang makna kata atau makna bahasa.
Ilmu linguistik mendefinisikan bahasa sebagai suatu sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer dan tersusun secara sistematis. Lambang-lambang yang digunakan sebagai bahasa tersebut harus bisa didengar dan diucapkan. Setiap lambang bahasa mempunyai makna tertentu, dan lambang-lambang tersebut dapat digunakan untuk berkomunikasi antar manusia.
Bahasa terdiri dari satuan-satuan bahasa yang disusun secara sistematis. Satuan-satuan bahasa tersebut mengandung komponen makna yang kompleks. Hal ini mengakibatkan adanya berbagai perhubungan yang memperlihatkan kesamaan, pertentangan, tumpang tindih, dan sebagainya. Para ahli semantik telah mengklasifikasikan perhubungan makna itu dalam berbagai kategori, seperti sinonimi, antonimi, polisemi, hiponimi, homonimi, metonimia. Makalah sederhana ini berisi pembahasan tentang hubungan bentuk dan makna dalam telaah semantik bahasa Indonesia. Berikut ini akan dijelaskan beberapa kategori, yaitu sinonimi, antonimi, dan polisemi.

B. Pembahasan
1. Sinonimi
a. Hakikat Sinonimi
Sinonimi merupakan bentuk hubungan persamaan makna. Secara etimologi, sinonimi berasal ari kata onoma yang berarti nama, dan syn yang berarti dengan, jadi secara harfiah sinonimi berarti nama lain untuk benda atau benda yang sama (Abdul Chaer, 1990, 85). Ada juga yang menyebutkan bahwa sinonimi berasal dari kata sin yang berarti sama atau serupa dan onim yang berarti nama, sehingga sinonimi bermakna sebagai sebuah kata yang dikelompokkan dengan kata-kata lain di dalam klasifikasi yang sama berdasarkan makan umum (H.G. Tarigan, 1990:17).
Secara semantik sinonimi didefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frasa, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan yang lain. Dengan kata lain, sinonimi adalah hubungan persamaan, dimana bentuk kebahasaan yang satu memiliki persamaan dengan bentuk kebahasaan yang lain (Wijana dan M. Rohmadi, 2008:28).
Jika diperhatikan, walaupun kata-kata yang saling bersinonimi memiliki kesamaan makna, tapi kesamaan tersebut tidak bersifat total atau menyeluruh. Bloomfield dalam Wijana dan M. Rohmadi (2008:29) menyatakan bahwa bentuk kebahaasan yang memiliki struktur fonemis yang berbeda dapat dipastikan memiliki makna yang berbeda, meskipun kecil. Meskipun suatu kata-kata saling bersinonimi, tapi masih punya perbedaan makna. hal tersbeut bisa diperhatikan pada contoh-contoh sinonimi. Menurut Verhaar yang sama adalah informasinya. Hal ini sesuai dengan prinsip semantik yang mengatakan bahwa apabila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda, walaupun perbedaannya hanya sedikit. Selain itu, dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang bersinonim belum tentu dapat dipertukarkan begitu saja (pustaka.ut.ac.id › Home › FKIP).
b. Penyebab Perbedaan Kata yang Bersinonim
Ullmann dalam Wijana dan Rohmadi (2008:31-32) menyebutkan beberapa kemungkinan penyebab perbedaan kata-kata yang bersinonim, yaitu:
1). Karena faktor umum dan khusus, contoh melihat lebih umum daripada kata menatap, melirik, menengok, dsb;
2). Karena keintensifan, misalnya kata sulit lebih intensif digunakan daripada kata sukar;
3). Karena faktor kesopanan, seperti halnay pada kata santap lebih sopan daripada kata makan;
4). Makna kata yang satu lebih literer (bersifat kesastraan) jika dibandingkan kata yang satunya, contohnya kata surya (literer) dengan kata matahari;
5). Karena faktor ragam bahasa, contohnya aku (merupakan ragam bahasa kolokuial) dengan kata saya (lebih formal);
6). Karena sifat kedaerahan atau karena dialektikal, seperti gue, beta, ane, dsb;
7). Karena faktor usia, misalnya, bubuk, maem lebih cocok untuk anak-anak, sedangkan tidur, makan lebih untuk penggunaan orang dewasa.
c. Contoh Sinonimi dan Analisisnya
1). Mendidik = mengajar, melatih, mengasuh.
2). Mati = meninggal, wafat, gugur, tewas.
Contoh-contoh di atas merupakan sedikit contoh sinonimi. Kata-kata tersebut di atas mempunyai beberapa kata dengan makna yang sama. Namun, jika diperhatikan lebih seksama, antar kata yang saling bersinonimi mempunyia perbedaan, khususnya pada penerapannya dalam konteks.
Kata mendidik mempunyai makna yang lebih luas daripada kata-kata yang lain, sehingga penggunaannya dalam konteks juga bisa lebih luas, yang bermakna melakukan upaya untuk mengubah sikap, tata laku, dan pengetahuan seseorang. Bandingkan dengan kata mengajar, melatih, dan mengasuh. Kata mengajar lebih mengacu pada transfer ilmu dari guru ke murid melalui lisan semata, sedangkan melatih lebih mengacu pada pembelajaran yang dilakukan dengan perbuatan, kata mengasuh acuannya lebih condong pada menjaga dan memelihara bayi atau anak kecil.
Kemudian kata mati digunakan dalam konteks yang lebih luas, misalnya saja pada benda yang bernyawa dan tidak bernyawa, contonya: Pohon mangga itu mati karena tidak dirawat; Kucing Ali mati. Pada kata meninggal, wafat, gugur, tewas, penggunaannya dipengaruhi dengan status sosial. Kata meninggal diperuntukkan orang-orang kebanyakan, penggunaannya lebih luas dibandingkan dengan tiga kata yang lain, sedangkan kata wafat untuk orang-orang yang berstatus sosial bangsawan, gugur untuk pahlawan, dan tewas lebih mengacu pada orang-orang mati dengan cara kurang baik, contohnya dalam kalimat: Penjahat itu tewas ditembak polisi; Gelandangan itu tewas kelaparan.

2. Antonimi
a. Hakikat Antonimi
Kata antonimi berasal dari kata onoma berarti kata dan anti yang artinya melawan. Antonimi didefinisikan sebagai perlawanan makna atau berlawanan dengan kata yang lain. Menurut Verhaar dalam Abdul Chaer (1990:91) antonimi ialah ungkapan (biasanya kata, frasa atau kalimat) yang dianggap bermakna kebalikan dari ungkapan lain.
Antonimi terdapat pada semua tataran bahasa, yaitu morfem, kata, frasa, dan kalimat. Masyarakat umum menyebutkan antonimi sebagai lawan kata, tapi sebutan tersbeut sepertinya kurang tepat. Verhaar dalam Abdul Chaer (1990:92) juga menyatakan bahwa antonimi juga tidak bersifat mutlak maksudnya bahwa kata-kata yang dianggap berlawanan makna sebenarnya bukanlah berlawanan, tapi hanya dianggap kebalikannya.
b. Penggolongan Antonimi
Berdasarkan jumlah pasangan dan sifat perlawanannya, antonimi digolongkan menjadi beberapa jenis (Wijana dan M. Rohmadi, 2008:34-40). Penggolongan tersebut adalah sebagai berikut:
1). Biner dan nonbiner;
a). Antonimi biner maksudnya adalah perlawanan makna kata yang anggotanya dua buah kata, contohnya: mati x hidup, jantan x betina, dsb;
b). Antonimi nonbiner adalah perlawanan kata yang anggota pasangannya lebih dari dua kata, contohnya:
dahulu x sekarang, tadi, hari ini.
berdiri x duduk, berbaring, jongkok, tiarap.
2). Bergradasi dan tak bergradasi;
a). Antonimi bergradasi adalah perlawanan makna kata yang berjenjang sehubungan dengan sifat-sifat relatif makna kata-kata yang berlawanan, contohnya: tinggi x rendah, lebar x sempit, besar x kecil, pimpinan x bawahan, dsb;
b). Antonimi tak bergradasi adalah perlawanan tak berjenjang atau tak bertingkat karena relasinya tidak bersifat relatif, misalnya: ayah x ibu, kakek x nenek, dsb.
3). Orthogonal dan antipodal;
a). Antonimi orthogonal adalah perlawanan makna kata yang oposisinya tidak bersifat diametrik, kata utara berantonimi orthogonal dengan semua arah mata angin (kecuali selatan);
b). Antonimi antipodal adalah perlawanan makna kata yang oposisinya bersifat diametrik, contohnya: utara x selatan, timur x barat, kaya x miskin, dsb.
4). Antonimi direksional adalah perlawanan makna kata yang oposisinya ditentukan berdasarkan gerak menjauhi dan mendekati suatu tempat, contohnya: pulang x pergi, ke sana x ke mari;
5). Antonimi relasional adalah perlawanan makna kata yang oopsisinya bersifat kebalikan, misalnya: atas x bawah, orang tua x anak, guru x murid, suami x istri.
Abdul Chaer (1989:93-96) berdasarkan sifatnya membedakan antonimi menjadi:
1). Antonimi mutlak, sejalan dengan antonimi biner;
2). Antonimi kutub, pemahamannya sama dengan antonimi antipodal;
3). Antonimi hubungan, sesuai dengan antonimi relasional;
4). Antonimi hierarkial, sejalan dengan antonimi bergradasi;
5). Antonimi majemuk, pemahamannya sama dengan antonimi nonbiner.

3. Polisemi
a. Hakikat Polisemi
Polisemi diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frasa) yang memiliki makna lebih dari satu (Abdul Chaer, 1990:104). Pernyataan yang sama menyebutkan bahwa polisemi adalah sebuah bentuk kebahasaan yang memiliki berbagai macam makna, perbedaan makna yang satu dengan yang laindapat ditelusuri atau dirunut sehingga sampai pada kesimpulan bahwa makna-makna tersebut berasal dari sumber yang sama (Wijana dan M. Rohmadi, 2008:41).
Allan dalam Wijana dan M. Rohmadi (2008:41) mendefinisikan polisemi sebagai unsur emik yang memiliki dua makna atau lebih. Dalam leksikografi, kata-kata berpolisemi dimasukkan dalam satu entri yang sama bersama berbagai kemungkinan maknanya.
b. Faktor-faktor Munculnya Polisemi
Ullmann dalam Wijana dan M. Rohmadi (2008:44) menyebutkan bhawa polisemi terbentuk karena beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1). Pergeseran pemakaian;
Pemakaian bahasa yang sangat luas menyebabkan makna sebuah kata mengalami pergeseran. Jika pergeseran makna masih dekat, maka penutur kemungkinan masih bisa mengenali hubungan makna yang baru dengan makan primer (makna semula). Sedangkan ketika pergeseran maknanya sudah jauh, maka penutur akan kesulitan menemukan hubungan makna baru dengan makna primernya.
2). Spesialisasi dalam lingkungan sosial;
Lingkungan sosialseringkali memiliki kata-kata yang maknanya khas yang berbeda dengan makna kata dalam penggunaan biasa. Contohnya asam garam, dalam lingkungan sosial bisa berarti pengalaman, sedangkan secara linguistik mempunyai makna sebagai bumbu-bumbu masakan.
3). Bahasa figuratif;
Bahasa figuratif adalah bahasa-bahasa yang membentuk metafora-metafora karena adanya penyimpangan penerapan makna suatu referen. Misalnya kata lintah mempunyai arti hewan yang menghisap darah, tapi kata lintah dalam lintah darat bisa berarti rentenir.
4). Penafsiran kembali pasangan berhomonim;
Kata-kata yang secara sinkronis mempunyai hubungan homonimi, maka secara diakronis mungkin sekali berhubungan membentuk polisemi. Contohnya dalam kata kuda dengan kuda-kuda, secara sinkronis merupakan homonimi yang berhomograf dan berhomofon, tapi bisa juga menjadi polisemiberdasarkan konsep maknanya, kuda adalah binatang berkaki empat yang kuat, sedangkan kuda-kuda adalah sikap atau posisi dalam silat yang merupakan posisi yang kuat, atau bisa juga salah satu bagian rumah yang merupakan kerangka untuk atap dan harus kuat.
5). Pengaruh bahasa asing.
Konsep-konsep bahasa asing yang masuk ke dalam bahasa Indonesia juga mengakibatkan perubahan pada makna kata-kata bahasa yang dimasukinya. Misalnya kata ranjau, dalam makna primer berarti bambu yang ditajamkan kemudian ditanam sebagai perangkap, setelah mendapat pengaruh bahasa asing arti ranjau berarti bom yang ditanam di dalam tanah.
c. Contoh Polisemi
1). Kepala → * bagian tubuh (manusia, binatang) dari leher ke atas * sesuatu yang kedudukannya di atas atau terutama (yang terpenting, yang pokok) * pemimpin.
Contoh dalam penggunaannya:
a). Kepala orang itu terluka akibat lemparan batu.
b). Penulisan dalam kepala surat dinas itu masih kurang tepat.
c). Kepala Program Studi (Kapodri) sedang tidak berada di tempat karena menghadiri rapat pimpinan.
2). Kaki → * anggota tubuh bagian bawah untuk berjalan * bagian sesuatu yang letaknya di sebelah bawah * sesuatu yang fungsinya sebagai penopang untuk berdiri.
Contoh dalam penggunaannya:
a). Kaki model itu jenjang.
b). Persawahan di kaki gunung itu nampak subur.
c). Kaki meja kayu itu sudah patah.
3). Akar → * bagian tumbuhan yang berfungsi menyerap makanan dan penguat batang * sangat mendalam * salah satu hal dalam matematika.
Contoh dalam penggunaannya:
a). Tumbuhan itu berakar serabut..
b). Sifat buruknya sudah sangat mengakar sehingga sulit untuk disadarkan.
c). Akar pangkat tiga dari 8 adalah 2.

C. Simpulan
Bahasa Indonesia mengenal adanya berbagai makna kata yang berhubungan dengan kata-kata lainnya. Diantaranya adalah jenis kata sinonimi, antonimi, dan polisemi. Penjelasan dan penjabarannya telah disampaikan pada uraian bab Pembahasan. Berikut ini adalah simpulan secara garis besar inti dari uraian tersebut.
1. Sinonimi, secara harafiah, kata sinonimi berarti nama lain untuk benda atau hal yang sama, secara semantik mendefinisikan sinonimi sebagai ungkapan (dapat berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain;
2. Antonimi adalah antonim ialah ungkapan (biasanya kata, frase atau kalimat) yang dianggap bermakna kebalikan dari ungkapan lain;
3. Polisemi adalah kata-kata yang memiliki makna atau arti lebih dari satu karena adanya banyak komponen konsep dalam pemaknaan suatu kata.