Kamis, 08 Oktober 2009

GUNUNG LAWU : SEKITAR MITOS DAN LEGENDA

Gunung Lawu berketinggian sekitar 3265 M di atas permukaan laut, terletak di
perbatasa propinsi Jawa Tengah – Jawa Timur. Untuk mencapai puncaknya, dari kota
Solo ke arah timur sekitar 55 km, melewati wilayah Kabupaten Karanganyar.

Gunung Lawu bersosok angker dan menyimpan misteri dengan tiga puncak utamanya :
Harga Dalem, Harga Dumilah dan Harga Dumiling yang dimitoskan sebagai tempat
sacral di Tanah Jawa. Harga Dalem diyakini masyarakat setempat sebagai tempat
pamoksan Prabu Bhrawijaya Pamungkas, Harga Dumiling diyakini sebagai tempat
pamoksan Ki Sabdopalon, dan Harga
Dumilah merupakan tempat yang penuh misteri yang sering dipergunakan sebagai
ajang menjadi kemampuan olah batin dan meditasi.

Konon kabarnya gunung Lawu merupakan pusat kegiatan spiritual di Tanah Jawa dan
ada hubungan dekat dengan tradisi dan budaya keraton, semisal upacara labuhan
setiap bulan Sura (muharam) yang dilakukan oleh Keraton Yogyakarta. Dari visi
folklore, ada kisah mitologi setempat yang menarik dan menyakinkan siapa
sebenarnya penguasa gunung Lawu dan mengapa
tempat itu begitu berwibawa dan berkesan angker bagi penduduk setempat atau
siapa saja yang bermaksud tetirah dan mesanggarah.

Siapapun yang hendak pergi ke puncaknya bekal pengetahuan utama adalah tabu-tabu
atau weweler atau peraturan-peraturan yang tertulis yakni larangan-larangan
untuk tidak melakukan sesuatu, baik bersifat perbuatan maupun perkataan, dan
bila pantangan itu dilanggar di pelaku diyakini bakal bernasib naas.


Siapa Penguasa Gunung Lawu ?

Cerita dimulai dari masa akhir kerajaan Majapahit (1400 M). Alkisah, pada era
pasang surut kerajaan Majapahit, bertahta sebagai raja adalah Sinuwun Bumi Nata
Bhrawijaya Ingkang Jumeneng kaping 5 (Pamungkas). Dua istrinya yang terkenal
ialah Dara Petak putri dari daratan Tiongkok dan Dara Jingga. Dari Dara Petak
lahir putra Jinbun Fatah, dari Dara Jingga lahir putra
Pangeran Katong.

Jinbun Fatah setelah dewasa menghayati keyakinan yang berbeda dengan ayahandanya
yang beragama Budha. Jinbun Fatah seorang muslim. Dan bersamaan dengan pudarnya
Majapahit, Jinbun Fatah mendirikan Kerajaan di Glagah Wangi (Demak). Melihat
situasi dan kondisi yang demikian itu , masygullah hati Sang Prabu. Akankah
jaman Kerta Majapahit dapat dipertahankan?

Sebagai raja yang bijak, pada suatu malam, dia pun akhirnya bermeditasi memohon
petunjuk Sang Maha Kuasa. Dan wisik pun datang, pesannya : sudah saatnya cahaya
Majapahit memudar dan wahyu kedaton akan berpindah ke kerajaan yang baru tumbuh
serta masuknya agama baru (Islam) memang sudah takdir dan tak bisa terelakkan
lagi.

Pada malam itu pulalah Sang Prabu dengan hanya disertai pemomongnya yang setia
Sabdopalon diam-diam meninggalkan keraton dan melanglang praja dan pada akhirnya
naik ke Puncak Lawu. Sebelum sampai di puncak, dia bertemu dengan dua orang
umbul (bayan/ kepala dusun) yakni Dipa Menggala dan Wangsa Menggala. Sebagai
abdi dalem yang setia dua orang umbul
itu pun tak tega membiarkan tuannya begitu saja. Niat di hati mereka adalah
mukti mati bersama Sang Prabu . Syahdan, Sang Prabu bersama tiga orang abdi
itupun sampailan di puncak Harga Dalem. Saat itu Sang Prabu bertitah : Wahai
para abdiku yang setia sudah saatnya aku harus surut, aku harus muksa dan
meninggalkan dunia ramai ini. Kepada kamu Dipa Menggala, karena
kesetiaanmu kuangkat kau menjadi penguasa gunung Lawu dan membawahi semua mahluk
gaib (peri, jin dan sebangsanya) dengan wilayah ke barat hingga wilayah
Merapi/Merbabu, ke Timur hingga gunung Wilis, ke selatan hingga Pantai selatan ,
dan ke utara sampai dengan pantai utara dengan gelar Sunan Gunung Lawu. Dan
kepada Wangsa Menggala, kau kuangkat sebagai patihnya, dengan gelar Kyai Jalak.

Suasana pun hening . Melihat drama semacam itu, tak kuasa menahan gejolak di
hatinya, Sabdopalon pun memberanikan diri berkata kpd Sang Prabu : Bagaimana
mungkin ini terjadi Sang Prabu ? Bila demikian adanya hamba pun juga pamit
berpisah dengan Sang Prabu, hamba akan naik ke Harga Dumiling dan meninggalkan
Sang Prabu di sini. Dan dua orang tuan dan abdi
itupun berpisah dalam suasana yang mengharukan.

Singkat cerita Sang Prabu Barawijaya pun muksa di Harga Dalem , dan Sabdopalon
moksa di Harga Dumiling. Tinggalah Sunan Lawu Sang Penguasa gunung dan Kyai
Jalak yang karena kesaktian dan kesempurnaan ilmunya kemudian menjadi mahluk
gaib yang hingga kini masih setia melaksanakan tugas sesuai amanat Sang Prabu
Brawijaya.

Tempat-tempat lain yang diyakini misterius oleh penduduk setempat selain tiga
puncak tersebut yakni : Sendang Inten, Sendang Drajat, Sumur Jalatunda, Kawah
Candradimuka, Repat Kepanasan/Cakrasurya, dan Pringgodani. Bagaimana situasi
Majapahit sepeninggak Sang Prabu? Konon sebagai yang menjalankan tugas kerajan
adalah Pangeran Katong. Figur ini
dimitoskan sebagai orang yang sakti dan konon juga muksa di Ponorogo yang juga
masih wilayah gunung Lawu lereng Tenggara.
http://www.karanganyar.go.id/featureLawu.htm