Minggu, 14 November 2010

ABSTRAK
Ayu Ardiyanti Rifai. 2010. Telaah Fungsi Dalam Teks Cerita Rakyat Masyarakat Madiun dan Peranannya Bagi Pembelajaran Sastra: Sebuah Kajian Semiotik. Skripsi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS, IKIP PGRI Madiun. Pembimbing (I) Drs. Agus Budi Santoso, M.Pd., (II): Eni Winarsih, S.Pd., M.Pd.

Kata Kunci: Fungsi Cerita Rakyat Masyarakat Madiun, Peranan Dalam Pembelajaran Sastra, Kajian Semiotik

Cerita rakyat yang berupa sastra lisan mempunyai banyak kegunaan atau fungsi dalam kehidupan bersama suatu kolektif, seperti cerita rakyat sebagai alat pendidikan, hiburan, media protes sosial, dan proyeksi keinginan yang terpendam. Fungsi-fungsi seperti itulah yang mendorong pentingnya kajian tentang cerita rakyat. Penelitian ini penting karena cerita rakyat sebagai bagian dari budaya lokal mengandung nilai-nilai kearifan lokal, ajaran-ajaran kehidupan, dan nilai filsafat yang mendalam. Penelitian ini merupakan upaya untuk mengangkat kembali, melestarikan, dan mengembangkan cerita rakyat masyarakat lokal untuk menangkal pengaruh negatif arus globalisasi dan memperkuat identitas diri sebagai bangsa Indonesia.
Setelah melakukan kerja analisis secara semiotik, maka penulis menemukan bahwa cerita rakyat Asal Usul Nama Madiun, Prasasti Sendang Kamal, dan Asal Usul Kesenian Dongkrek mengandung nilai kebersamaan, kegotongroyongan, dan nilai-nilai kepemimpinan yang luhur. Semangat tentang emasipasi wanita dan nilai-nilai religiusitas juga disajikan dalam cerita rakyat tersebut.
Ditemukan beberapa fungsi dalam cerita rakyat masyarakat Madiun. Cerita rakyat Asal Usul Nama Madiun berfungsi sebagai sistem proyeksi keinginan masyarakat yang terpendam; alat pengesahan budaya; alat pendidikan; mempertebal perasaan solidaritas; alat sindiran; sumber pengetahuan kesejarahan; dan berfungsi rekreasi. Cerita rakyat Prasasti Sendang Kamal mempunyai fungsi sebagai sistem proyeksi keinginan masyarakat yang terpendam; alat pendidikan anak; alat sindiran; sumber pengetahuan kesejarahan; dan berfungsi rekreasi. Sedangkan fungsi dalam cerita rakyat Asal Usul Kesenian Dongkrek adalah sebagai alat pengesahan kebudayaan; alat pendidikan anak; mempertebal solidaritas masyarakat; sumber pengetahuan seni budaya; dan berfungsi rekreasi.
Kebudayaan (seni, bahasa, dan culture education) dimasukkan dalam kurikulum dan muatan lokal di sekolah dengan sasaran para peserta didik karena berperan dalam pengembangan budaya, budi pekerti, dan karakter bangsa. Kebudayaan yang dikembangkan melalui pendidikan formal di sekolah merupakan strategi pengembangan karakter sejak usia dini dalam menanamkan nilai-nilai kearifan lokal. Dalam pembelajaran sastra, peranan cerita rakyat yang merupakan bagian dari budaya adalah membantu keterampilan berbahasa; meningkatkan pengetahuan budaya; mengembangkan cipta dan rasa; dan menunjang pembentukan watak.

Minggu, 03 Oktober 2010

para wisudawan wisudawati yang berbahagia

menjadi sarjana
pasti inginnya kebanyakan insan
lalu aku bertanya lagi...
apa yang ingin mereka capai?
gelar?status?ijazah untuk 'mencari' kerja yang mentereng?atau ilmu yang kemudian dimanfaatkan dalam kehidupannya dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya?

hmmm....
kalau semua pertanyaan itu sih tergantung mereka sendiri-sendiri
gak penting juga kalau aku tahu
bukan urusanku.

tapi kalau aku sendiri yang ditanya seperti itu
aku akan jawab apa ya????
kalau boleh IDEALIS sedikit
tentunya aku ingin ilmu yang manfaat dan dengan kesarjanaanku tentunya menjadi manusia yang bermoral dan berdedikasi tinggi

tapi jadi paradoks jika urusannya sudah menyangkut perut dan uang
inti dari pendidikan yang kata orang "memanusiakan manusia"
jadi lebur bersama angin
jika urusannya 'kebutuhan' tentunya aku akan menjawab
kesarjanaanku akan kumanfaatkan untuk mencari pekerjaan yang berlimpah uang dan bagaimana caranya mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya
meski harus memintari ataupun membodohi orang lain...

ini hanya sebuah kata hati...
ini hanya suatu realita
dimana para sarjana yang ketika muda memegang idealismenya
menjadi para pemakan bangkai saudaranya sendiri demi 'sesuap nasi' dan sekenyangnya perut.

Rabu, 23 Juni 2010

hati sebelah mana

entah dengan hati sebelah mana kau memilih
dan
entah dengan hati sebelah mana pula aku menerima
tanpa sadar ku:
Tuhan ingin kita bertemu

(240610)

dulu, kini, dan nanti

dulu...aku mengenalmu dengan cara yang beda
saat ini, aku mengenalmu dengan cara yang yang lain
dan esok...entah aku akan mengenalmu dengan cara seperti apa

(120610)

Rabu, 09 Juni 2010

ASAL USUL NAMA MADIUN

Sultan Trenggono adalah Sultan Demak ketiga, sekaligus juga yang terakhir. Beliau mangkat pada tahun 1546 di medan perang dalam usahanya menaklukkan daerah Pasuruan di Jawa Timur. Peristiwa tersebut membawa akibat timbulnya perang saudara antar keturunan daerah Demak untuk memperebutkan tahta kerajaan.
Sultan Prawata, putra sulung Sultan Trenggono gugur dalam perebutan tahta itu. Tinggallah Pangeran Hadiri dan Pangeran Adiwijaya. Keduanya sama-sama menantu dari Sultan Trenggono. Yang keluar sebagai pemenangnya adalah Pangeran Adiwijaya.
Atas restu Sunan Kudus, Pangeran Adiwijaya ditetapkan sebagai Sultan dan menetapkan Pajang sebagai pusat kerajaan. Bersamaan dengan penobatan Sultan Adiwijaya, dilantik pula adik ipar sultan, yaitu putra bungsu Sultan Trenggonoyang bernama Pangeran Timur sebagai Bupati di Purabaya yang sekarang disebut Kabupaten Madiun.
Setelah Pangeran Adiwijaya mangkat karena usianya yang sudah tua, pusat pemerintahan berpindah ke Kerajaan Mataram yang didirikan oleh Danang Sutowijoyo atau yang lebih populer disebut Panembahan Senopati. Ia adalah putra sulung Pangeran Adiwijaya. Konon, Panembahan Senopati berwajah tampan, kemauannya keras dan pandai berperang. Sebagai seorang raja besar, Panembahan Senopati bercita-cita hendak menaklukkan para bupati di seluruh Tanah Jawa di bawah panji-panji Mataram.
Terkisahlah Pangeran Timur setelah menjadi bupati di Purabaya. Ia memerintah dengan adil dan bijaksana. Rakyatnya aman dan makmur. Ia disenangi oleh para bupati di Jawa Timur. Dalam memerintah, ia dikenal dengan sebutan Pangeran Ronggo Jumenoatau panembahan Mediyun. Dari kata Panembahan yang berasal dari kata adsar sembah sudah jelas bahwa Pangeran Timur memiliki kedudukan yang lebih dibanding para bupati yang lain karena kepadanya orang menghaturkan sembah. Mungkin karena Pangeran Timur masih keturunan Raja Demak Bintoro.
Beberapa bupati yang bersekutu dengan Pangeran Timur di Purabaya yang tidka tunduk pada kekuasaan Mataram adalah Surabaya, Ponorogo, Pasuruan, Kediri, Kedu, Brebek, Pakis, Kertosono, Ngrowo (Tulungagung), Blitar, Trenggalek, Tulung (Caruban), dan Jogorogo.
Panembahan Senopati pernah menyerang Purabaya dua kali, namun gagal. Dalam penyerangannya yang ketiga, Panembahan Senopati mengambil langkah-langkah yang menyangkut siasat dan strategi. Para prajurit dibekali dengan kemampuan dan keterampilan dalam mempergunakan senjata (keris, pedang, tombak, panah) dan ketangkasan menunggang kuda serta mengendalikan kuda.
Pasukan Panembahan Sneopati dibagi menjadi pasukan inti dan pasukan kelas dua. Untuk mengecoh lawan, pasukan kelas dua dilengkapi dengan segala atribut kebesaran perang: genderang, panji-panji, dan umbul-umbul. Pasukan ini tugasnya mengepung Purabaya dan datang dari arah yang berlawanan.
Dalam penyarangan yang dijalankan oleh Panembahan Senopati dibantu oleh dua orang penasihat ahli perang, yaitu Ki Juru Mertani dan Ki Panjawi.
Siasat pertama yang dijalankan oleh Panembahan Senopati adalah mengutus seorang istri/selirnya yang amat dikasihinya untuk berpura-pura tunduka pada pemerintahan Pangeran Timur di Purabaya. Tentulah Pangeran Timur bergirang hati. Diterimanya tanda tunduk dari Mataram. Melihat peristiwa itu, beberapa bupati yang menjadi sekutu Purabaya lengkap dengan prajuritnya yang telah lama bersiaga di Purabaya mulai pulang ke daerah masing-masing. Kabupaten Purabaya dinyatakan dalam keadaan aman dan tenang oleh Pangeran Timur.
Dalam suasana seperti itu, prajurit sandi Mataram segera menghadap Panembahan Senopati di Mataram. Akhirnya dengan pertimbangan yang masak, Panembahan Senopati memimpin prajurit Mataram untuk menyerang Kabupaten Purabaya dari berbagai arah.
Mendapat serangan tiba-tiba dari Mataram, Raden Ayu Retno Jumilah segera mengangkat senjata memimpin para prajurit Purabaya untuk melawan prajurit Mataram, ia masih putri Pangeran Timur. Purabaya yang telah ditinggalkan oleh para sekutunya menghadapi serbuan Panembahan Senopati dipertahankan sepenuhnya oleh pasukan sendiri, itupun yang mereka lawan adalah pasukan kelas dua.
Tanpa mendapat perlawanan yang berarti, pasukan inti Mataram segera menyerbu pusat pertahanan terakhir yang berada di kompleks istana Kabupaten Purabaya. Pasukan pertama bertugas melindungi keluarga dan istana. Mereka bertempur dengan gagah berani melawan pasukan inti Mataram. Pertempuran yang sangat sengit itu terjadi di sekitar sendang di dalam kompleks istana.
Kabupaten Purabaya akhirnya runtuh pada tahun 1590. Untuk mengenang peristiwa itu, Panembahan Senopati mengubah nama Purabaya menjadi Mbedi Ayun (Mbedi = mbeji = beji dalam bahasa Jawa berarti sendang. Ayun berarti depan atau dapat juga berarti perang. Mbedi Ayun berarti perang di sekitar sendang). Kata Mbedi Ayun akhirnya mengalami perubahan ucapan menjadi Mbediyun, kemudian berubah lagi menjadi Mediyun dan yang terahir adalah Madiun. Konon perang besar itu berakhir pada hari Jumat Legi tanggal 16 November 1590 Masehi, sekaligus ditandai sebagai penggantian nama Purabaya menjadi Madiun.

Wiratmoko, Y.P.B. 2005. Cerita rakyat Dari Madiun (Jawa Timur). Jakarta: PT. Grasindo.

Selasa, 06 April 2010

HUBUNGAN BENTUK DAN MAKNA DALAM BAHASA INDONESIA KATEGORI HOMONIMI, HIPONIMI, METONIMIA: SEMANTIK BAHASA INDONESIA

Ayu Ardiyanti Rifai
IKIP PGRI Madiun

A. Pendahuluan
Bahasa merupakan hal yang tidak pernah lepas kehidupan manusia. Bahasa mempunyai peran yang penting bagi manusia, selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga digunakan untuk menjalankan setiap aktivitas manusia dalam berbagai bidang. Membahas tentang bahasa sebagai alat komunikasi, maka tidak akan bisa lepas dari kajian semantik. Semantik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari tentang makna kata atau makna bahasa.
Ilmu linguistik mendefinisikan bahasa sebagai suatu sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer dan tersusun secara sistematis. Lambang-lambang yang digunakan sebagai bahasa tersebut harus bisa didengar dan diucapkan. Setiap lambang bahasa mempunyai makna tertentu, dan lambang-lambang tersebut dapat digunakan untuk berkomunikasi antar manusia.
Bahasa terdiri dari satuan-satuan bahasa yang disusun secara sistematis. Satuan-satuan bahasa tersebut mengandung komponen makna yang kompleks. Hal ini mengakibatkan adanya berbagai perhubungan yang memperlihatkan kesamaan, pertentangan, tumpang tindih, dan sebagainya. Para ahli semantik telah mengklasifikasikan perhubungan makna itu dalam berbagai kategori, seperti sinonimi, antonimi, polisemi, hiponimi, homonimi, metonimia. Makalah sederhana ini berisi pembahasan tentang hubungan bentuk dan makna dalam telaah semantik bahasa Indonesia. Berikut ini akan dijelaskan beberapa kategori, yaitu homonimi, hopinimi, dan metonimia.



B. Pembahasan
1. Homonimi
a. Hakikat Homonimi
Homonini secara etimologi berasal dari kata homos yang artinya sejenis dan onoma atau kata, dalam ilmu bahasa mempunyai arti kata-kata yang sama bunyinya tetapi mempunyai arti dan pengertian yang berbeda (H.G. Tarigan, 1990:30). Wijana dan M. Rohmadi (2008:55) menyatakan bahwa homonimi adalah dua kata atau lebih yang secara kebetulan memiliki pola bunyi yang sama. Secara semantik, Verhaal memberi definisi hominimi sebagai ungkapan (berupa kata atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan (berupa kata, farsa, atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama (Abdul Chaer, 1990:97).
Kata-kata yang berhomonim dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu homonim yang homografi, homofoni, dan homografi dan homofoni. Homonimi yang homografi kesamaannya terletak pada keidentikan ortografi (tulisan dan ejaan), contohnya kata teras (lantai depan rumah) dan tẽras (pejabat tinggi). Sedangkan homonimi yang homofoni kesamaanya terdapat pada keidentikan bunyi dan pengucapan, misalnya pada kata sanksi (hukuman) dan sangsi (ragu). Homonimi yang homofoni dan homografi adalah homonimi yang kesamaannya terletak pada ortografi dan pengucapan, contohnya seperti pada kata bisa (dapat) dan bisa (racun); buku (kitab) dan buku (sendi); karang (batu) dan karang (menulis), dsb. Menurut Allan dalam Wijana dan M. Rohmadi (2008,57) homonimi yang mempunyai kesaman pada ortografi dan pengucapan disebut sebagai homonimi komplet.
b. Sebab Terbentuknya Hominimi
Homonimi terbentuk karena beberapa faktor, selain karena memang ada dua pasangan leksem atau lebih yang kebetulan punya makna atau bentuk yang sama (Wijana dan M. Rohmadi, 2008:57). Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1). Proses afiksasi;
Merupakan proses penambahan afiks pada bentuk dasar untuk membentuk kata yang lebih kompleks. Hal tersebut bisa menyebabkan terjadi pembentukan homonimi, seperti dalam contoh berikut ini:
a). ber + uang = beruang (memiliki uang)
ber + ruang = beruang (tempat yang memiliki ruang)
beruang = beruang (binatang)
b). me (N) + karang = mengarang (menjadi batu karang)
me (N) + karang = mengarang (membuat tulisan)
me (N) + arang = mengarang (menjadi arang)
2). Masuknya kata-kata baru dalam kosakata bahasa Indonesia;
Bahasa adalah sesuatu yang hidup dan digunakan oleh manusia atau masyarakat penutur, sehingga bahasa akan selalu berkembang sesuai dengan perkembangan manusia. perkembangan bahasa tersebut berkaitan dengan pengambilan dan pemungutan konsep-konsep baru untuk keperluan berbagai macam aspek kehidupan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Bahasa Indonesia dalam proses perkembangannya banyak memungut dari kosa kata asing yang disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia (melalui proses adaptasi). Hal tersebut juga bisa mejadi penyebab pembentukan homonimi, misalnya seperti dalam contoh berikut ini:
a). Boek (bahasa Belanda) → buku (kitab; lembaran kertas yang
dijilid)
Buku (bahasa Indonesia) → buku (ruas-ruas)
b). Copy (bahasa Inggris) → kopi (tiruan; hasil cetakan yang
mirip aslinya)
Kopi (bahasa Indonesia) → kopi (biji-bijian yang diolah
menjadi minuman)


3). Proses penyingkatan dan pengakroniman;
a). Penyingkatan adalah proses pemendekatan bentuk yang dianggap panjang dengan cara penggabungan huruf awal. Contoh homonimi yang disebabkan oleh faktor tersebut adalah Polisi Militer (PM) dengan Perdana Menteri (PM).
b). Pengakroniman adalah penyingkatan dengan gabungan huruf awal, gabungan suku kata, atau gabungan kombinasi huruf dan suku kata dari deret yang ditulis serta dilafalkan sebagai kata yang wajar. Contohnya adalah sebagai berikut:
(1). Langsung Umum Bebas Rahasia (Luber)
Luber → air yang meluap dari wadahnya.
(2). Jaksa Agung (Jagung)
Jagung → nama tanaman
(3). Gelanggang Olahraga (Gelora)
Gelora → hasrat; semangat
4). Adanya berbagai gejala bahasa.
Gejala bahasa adalah peristiwa yang menyangkut bentukan-bentukan kata atau kalimat dengan segala macam proses pembentukannya. Berikut ini beberapa gejala bahasa:
a). Penambahan fonem adalah gejala bahasa yang prosesnya menambahkan fonem pada suatu kata, jenisnya adalah sebagai berikut:
(1). Protesis (penambahan fonem di depan), contohnya adalah kata rak, mengalami protesis menjadi erak (tempat untuk menyimpan peralatan dapur dan erak (letak).
(2). Epentesis (penambahan fonem di tengah), contohnya adalah kapak menjadi kampak (alat untuk memotong kayu) dan kampak (minyak gosok merk kapak).
(3). Paragoge (penambahan fonem di belakang), contohnya adalah gaji menjadi gajih (bayaran; upah) dan gajih (lemak).
b). Penghilangan fonem adalah penghilangan sebuah fonem dari suatu kata, jenisnya ialah sebagai berikut:
(1). Aferesis (penghilangan fonem di depan), contohnya seperti berikut ini:
(a). Haus → aus (dahaga atau ingin minum air)
aus → susut karena sering dipakai.
(b). Hasta → asta (ukuran sepanjang lengan bawah
dari siku ke ujung jari tengah)
asta → delapan
(2). Sinkop (penghilangan fonem di tengah), contohnya adalah kata basa (istilah dalam kimia) dengan basa (semula bahasa) yang atinya bunyi yang dikeluarkan alat ucap manusia untuk berkomunikasi.
(3). Apakop (penghilangan fonem di belakang), contohnya adalah kata akas (tangkas; sehat) dengan akas (semula akasa) yang artinya langit.
c). Perubahan fonem adalah proses dimana dalam pemakaian bahasa seringkali bunyi atau fonem sebuah kata berubah menjadi fonem lain yang hampir mirip atau mendekati fonem sebelumnya. Contohnya adalah kata syah (semula syeh) yang berarti raja dengan syah yang berarti resm).
d). Pertukaran fonem adalah proses bertukarnya atau berpindahnya letak fonem. Contohnya pada kata padam (semula padma) yang mempunyai arti bungan teratai merah dengan kata padam yang berarti tidak menyala.

2. Hiponimi
a. Hakikat Hiponimi
Kridalaksana dalam Wijana dan M. Rohmadi (2008:67) mendefinisikan hiponimi sebagai hubungan semantik antara makna spesifik dan makna generik, atau antara anggota taksonomi dengan nama taksonomi. Secara etimologi hiponimi berasal dari kata onoma dengan arti nama dan hypo yang berarti di bawah. Secara harfiah hiponimi berarti nama yang termasuk di bawah nama lain (pustaka.ut.ac.id). Verhaar menyatakan hiponimi adalah ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat juga berupa frasa atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain (Abdul ccaer, 1990:102).
Hiponimi menyatakan hubungan makna yang mengandung pengertian hubungan hierarkis. Hiponimi kemudian menjadi dasar pendekatan yang disebut dengan semantic field atau semantic domain, yaitu pendekatan semantik yang mecoba melakukan klasifikasi makna berdasarkan persamaan arti atau bidang makna yang sama dikumpulkan dalam satu kelompok (t_wahyu.staff.gunadarma.ac.id). Konsep hiponimi tidak dapat dipisahkan dari hipernimi. Hiponimi adalah kata-kata yang mewakili banyak kata lain atau bertindak sebagai kata umum, sedangkan hipernimi merupakan klasifikasi yang lebih khusus yang termasuk dalam hiponimi. Umumnya kata-kata hiponimi adalah suatu kategori dan hipernimi merupakan anggota dari kategori tersebut.
b. Contoh Hiponimi
Hiponimi Hipernimi
Ikan
Bunga
Kendaraan
Melihat
Binatang tongkol, bandeng, mujair, kakap, lele, dsb.
mawar, melati, lili, anyelir, kemuning, dsb.
sepeda, motor, becak, kereta api, dsb.
menengok, mengintip, mengintai, memandang, dsb.
ayam, kambing, sapi, kelinci, anjing, kucing, dsb.

3. Metonimia
a. Hakikat Metonimia
Metonimia dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai kiasan pengganti nama (Pradopo, 1990:77). Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa bahasa ini berupa penggunaan sebuah atribut pada sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan untuk menggantikan objek tersebut.
Metonimia menyebutkan sesuatu dengan tidak langsung, melainkan dengan menyebutkan benda atau sesuatu yang lain yang rapat hubungannya dengan sesuatu yang dimaksud itu. Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia (Daryanto, 1997:439) disebutkan entri metonimia mempunyai arti cara menyebutkan sesuatu yang lain yang dianggap mempu mewakili apa yang dimaksud.
b. Hubungan Kata dalam Metonimia
Hubungan kata yang menggnatikan dengan kata yang lain terdapat empat jenis hubungan (Wijana dan M. Rohmadi, 2008:68-72). Jenis-jenis hubungan tersebut adalah:
1). Hubungan Spasial;
Terbentuk karena kedekatan lokatif kata dengan kata yang digantikannya. Misalnya kata komodo merupakan sebuah nama binatang kadal raksasa, tempat komodo tersebut berkembang biak adalah pulau Komodo, contoh lainnya adalah kapur barus yang mempunyai arti damar yang dibentuk biasanya dengan bulatan kecil, dinamakan kapur barus karena berasal dari kota Barus Sumatra Utara.
2). Hubungan Temporal;
Perubahan makna juga terjadi karena hubungan temporal antara kata yang menggantikan dan kata yang menggantikan. Ullmann memberikan contoh kata missa. Kata missa (sekarang misa) bermakna mengirim atau membubarkan suatu pertemuan, sedangkan missa saat sekarang lebih mengacu pada pertemuannya.
3). Hubungan Logikal;
Kata-kata yang digunakan sekarang ini seringkali berhubungan dengan nama penciptanya sebagai tanda penghormatan. Misalnya kata amper, volt, mujair, dsb merupakan nama-nama orang yang digunakan untuk barang temuannya sebagai penghormatan.
4). Hubungan Sebagian-Keseluruhan.
Hubungan sebagian-keseluruhan dibedakan menjadi dua, yakni:
(a). Hubungan sebagian untuk keseluruhan (pars pro toto) adalah bentuk-bentuk yang digunakan untuk mewakili atau mengganti suatu objek secadara keseluruhan, misalnya dalam si kaca mata, si hidung mancung, sepasang mata, dsb;
(b). Hubungan keseluruhan untuk sebagian (totem pro parte) adalah bentuk-bentuk yang digunakan untuk mewakili sebagian benda yang biasanya berasosiasi dengannya, misalnya dalam kata sekolah (menggantikan kata murid, guru, dan hal-hal yang berkaitan dengannya).
Selanjutnya pada hubungan ini dibagi juga menjadi tiga jenis. Jenis-jenis tersebut adalah:
(a). Hubungan lokasional, contohnya pada penggunaan kata dompet, amplop, sekolah semuanya menggantikan benda lain yang ada di dalamnya;
(b). Hubungan atributif, contoh penggunaannya terdapat pada si kaca mata, si hidung mancung mewakili sebagian sifat atau keseluruhan individuyang diwakilinya;
(c). Hubungan anggota kelas, contohnya dalam kalimat: Ayah berangkat kerja naik Honda, Karena kehausan, saya minum aqua. Kata-kata honda dan aqua (merupakan merk barang) tersebut menggantikan nama dari barang yang digunakan oleh seseorang.
c. Contoh Metonimia
Metonimia dapat dipahami dengan contoh-contoh penggunaan dalam bahasa. Berikut ini contoh metonimia:
1). Raja mempertahankan mahkotanya dengan pedang dan tangan besi.
Mahkota adalah metonimia dari kuasa seorang raja atas sebuahkerajaan. Mahkota adalah benda yang dekat dengan kekuasaan seorang raja. Kata juga pedang juga merupakan metonimia, hal itu disebabkan karena kata pedang dekat dengan cara memimpin yang menggunakan kekerasan, ancaman, atau ketegasan (Hasan Aspahani, www.esfieana.multiply.com).
2). Ia baru saja menerima amplop dari atasannya.
Kata amplop menggantikan kata uang karena amplop dan uang mempunyai kedekatan hubungan. Amplop biasanya digunakan untuk menyimpan uang yang akan diberikan kepada seseorang, misalnya saja untuk sumbangan, dsb.

C. Simpulan
Bahasa Indonesia mengenal adanya berbagai makna kata yang berhubungan dengan kata-kata lainnya. Diantaranya adalah jenis kata homonimi, hiponimi, dan metonimia. Penjelasan dan penjabarannya telah disampaikan pada uraian bab pembahasan. Berikut ini adalah simpulan secara garis besar inti dari uraian tersebut.
1. Homonimi adalah dua kata atau lebih yang secara kebetulan memiliki pola bunyi yang sama. Secara semantik, definisi hominimi adalah sebagai ungkapan (berupa kata atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan (berupa kata, farsa, atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama. Kata-kata yang berhomonim dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu homonim yang homografi, homofoni, dan homografi dan homofoni;
2. Definisi hiponimi sebagai hubungan semantik antara makna spesifik dan makna generik, atau antara anggota taksonomi dengan nama taksonomi (biasanya disebut dengan hipernimi). Secara harfiah hiponimi berarti nama yang termasuk di bawah nama lain. Hiponimi menyatakan hubungan makna yang mengandung pengertian hubungan hierarkis;
3. Metonimia dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai kiasan pengganti nama, menyebutkan sesuatu dengan tidak langsung, melainkan dengan menyebutkan benda atau sesuatu yang lain yang rapat hubungannya dengan sesuatu yang dimaksud itu.

Selasa, 09 Februari 2010

HUBUNGAN BENTUK DAN MAKNA DALAM BAHASA INDONESIA KATEGORI SINONIMI, ANTONIMI, POLISEMI: SEMANTIK BAHASA INDONESIA

Ayu Ardiyanti Rifai
IKIP PGRI Madiun

A. Pendahuluan
Bahasa merupakan hal yang tidak pernah lepas kehidupan manusia. Bahasa mempunyai peran yang penting bagi manusia, selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga digunakan untuk menjalankan setiap aktivitas manusia dalam berbagai bidang. Membahas tentang bahasa sebagai alat komunikasi, maka tidak akan bisa lepas dari kajian semantik. Semantik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari tentang makna kata atau makna bahasa.
Ilmu linguistik mendefinisikan bahasa sebagai suatu sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer dan tersusun secara sistematis. Lambang-lambang yang digunakan sebagai bahasa tersebut harus bisa didengar dan diucapkan. Setiap lambang bahasa mempunyai makna tertentu, dan lambang-lambang tersebut dapat digunakan untuk berkomunikasi antar manusia.
Bahasa terdiri dari satuan-satuan bahasa yang disusun secara sistematis. Satuan-satuan bahasa tersebut mengandung komponen makna yang kompleks. Hal ini mengakibatkan adanya berbagai perhubungan yang memperlihatkan kesamaan, pertentangan, tumpang tindih, dan sebagainya. Para ahli semantik telah mengklasifikasikan perhubungan makna itu dalam berbagai kategori, seperti sinonimi, antonimi, polisemi, hiponimi, homonimi, metonimia. Makalah sederhana ini berisi pembahasan tentang hubungan bentuk dan makna dalam telaah semantik bahasa Indonesia. Berikut ini akan dijelaskan beberapa kategori, yaitu sinonimi, antonimi, dan polisemi.

B. Pembahasan
1. Sinonimi
a. Hakikat Sinonimi
Sinonimi merupakan bentuk hubungan persamaan makna. Secara etimologi, sinonimi berasal ari kata onoma yang berarti nama, dan syn yang berarti dengan, jadi secara harfiah sinonimi berarti nama lain untuk benda atau benda yang sama (Abdul Chaer, 1990, 85). Ada juga yang menyebutkan bahwa sinonimi berasal dari kata sin yang berarti sama atau serupa dan onim yang berarti nama, sehingga sinonimi bermakna sebagai sebuah kata yang dikelompokkan dengan kata-kata lain di dalam klasifikasi yang sama berdasarkan makan umum (H.G. Tarigan, 1990:17).
Secara semantik sinonimi didefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frasa, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan yang lain. Dengan kata lain, sinonimi adalah hubungan persamaan, dimana bentuk kebahasaan yang satu memiliki persamaan dengan bentuk kebahasaan yang lain (Wijana dan M. Rohmadi, 2008:28).
Jika diperhatikan, walaupun kata-kata yang saling bersinonimi memiliki kesamaan makna, tapi kesamaan tersebut tidak bersifat total atau menyeluruh. Bloomfield dalam Wijana dan M. Rohmadi (2008:29) menyatakan bahwa bentuk kebahaasan yang memiliki struktur fonemis yang berbeda dapat dipastikan memiliki makna yang berbeda, meskipun kecil. Meskipun suatu kata-kata saling bersinonimi, tapi masih punya perbedaan makna. hal tersbeut bisa diperhatikan pada contoh-contoh sinonimi. Menurut Verhaar yang sama adalah informasinya. Hal ini sesuai dengan prinsip semantik yang mengatakan bahwa apabila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda, walaupun perbedaannya hanya sedikit. Selain itu, dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang bersinonim belum tentu dapat dipertukarkan begitu saja (pustaka.ut.ac.id › Home › FKIP).
b. Penyebab Perbedaan Kata yang Bersinonim
Ullmann dalam Wijana dan Rohmadi (2008:31-32) menyebutkan beberapa kemungkinan penyebab perbedaan kata-kata yang bersinonim, yaitu:
1). Karena faktor umum dan khusus, contoh melihat lebih umum daripada kata menatap, melirik, menengok, dsb;
2). Karena keintensifan, misalnya kata sulit lebih intensif digunakan daripada kata sukar;
3). Karena faktor kesopanan, seperti halnay pada kata santap lebih sopan daripada kata makan;
4). Makna kata yang satu lebih literer (bersifat kesastraan) jika dibandingkan kata yang satunya, contohnya kata surya (literer) dengan kata matahari;
5). Karena faktor ragam bahasa, contohnya aku (merupakan ragam bahasa kolokuial) dengan kata saya (lebih formal);
6). Karena sifat kedaerahan atau karena dialektikal, seperti gue, beta, ane, dsb;
7). Karena faktor usia, misalnya, bubuk, maem lebih cocok untuk anak-anak, sedangkan tidur, makan lebih untuk penggunaan orang dewasa.
c. Contoh Sinonimi dan Analisisnya
1). Mendidik = mengajar, melatih, mengasuh.
2). Mati = meninggal, wafat, gugur, tewas.
Contoh-contoh di atas merupakan sedikit contoh sinonimi. Kata-kata tersebut di atas mempunyai beberapa kata dengan makna yang sama. Namun, jika diperhatikan lebih seksama, antar kata yang saling bersinonimi mempunyia perbedaan, khususnya pada penerapannya dalam konteks.
Kata mendidik mempunyai makna yang lebih luas daripada kata-kata yang lain, sehingga penggunaannya dalam konteks juga bisa lebih luas, yang bermakna melakukan upaya untuk mengubah sikap, tata laku, dan pengetahuan seseorang. Bandingkan dengan kata mengajar, melatih, dan mengasuh. Kata mengajar lebih mengacu pada transfer ilmu dari guru ke murid melalui lisan semata, sedangkan melatih lebih mengacu pada pembelajaran yang dilakukan dengan perbuatan, kata mengasuh acuannya lebih condong pada menjaga dan memelihara bayi atau anak kecil.
Kemudian kata mati digunakan dalam konteks yang lebih luas, misalnya saja pada benda yang bernyawa dan tidak bernyawa, contonya: Pohon mangga itu mati karena tidak dirawat; Kucing Ali mati. Pada kata meninggal, wafat, gugur, tewas, penggunaannya dipengaruhi dengan status sosial. Kata meninggal diperuntukkan orang-orang kebanyakan, penggunaannya lebih luas dibandingkan dengan tiga kata yang lain, sedangkan kata wafat untuk orang-orang yang berstatus sosial bangsawan, gugur untuk pahlawan, dan tewas lebih mengacu pada orang-orang mati dengan cara kurang baik, contohnya dalam kalimat: Penjahat itu tewas ditembak polisi; Gelandangan itu tewas kelaparan.

2. Antonimi
a. Hakikat Antonimi
Kata antonimi berasal dari kata onoma berarti kata dan anti yang artinya melawan. Antonimi didefinisikan sebagai perlawanan makna atau berlawanan dengan kata yang lain. Menurut Verhaar dalam Abdul Chaer (1990:91) antonimi ialah ungkapan (biasanya kata, frasa atau kalimat) yang dianggap bermakna kebalikan dari ungkapan lain.
Antonimi terdapat pada semua tataran bahasa, yaitu morfem, kata, frasa, dan kalimat. Masyarakat umum menyebutkan antonimi sebagai lawan kata, tapi sebutan tersbeut sepertinya kurang tepat. Verhaar dalam Abdul Chaer (1990:92) juga menyatakan bahwa antonimi juga tidak bersifat mutlak maksudnya bahwa kata-kata yang dianggap berlawanan makna sebenarnya bukanlah berlawanan, tapi hanya dianggap kebalikannya.
b. Penggolongan Antonimi
Berdasarkan jumlah pasangan dan sifat perlawanannya, antonimi digolongkan menjadi beberapa jenis (Wijana dan M. Rohmadi, 2008:34-40). Penggolongan tersebut adalah sebagai berikut:
1). Biner dan nonbiner;
a). Antonimi biner maksudnya adalah perlawanan makna kata yang anggotanya dua buah kata, contohnya: mati x hidup, jantan x betina, dsb;
b). Antonimi nonbiner adalah perlawanan kata yang anggota pasangannya lebih dari dua kata, contohnya:
dahulu x sekarang, tadi, hari ini.
berdiri x duduk, berbaring, jongkok, tiarap.
2). Bergradasi dan tak bergradasi;
a). Antonimi bergradasi adalah perlawanan makna kata yang berjenjang sehubungan dengan sifat-sifat relatif makna kata-kata yang berlawanan, contohnya: tinggi x rendah, lebar x sempit, besar x kecil, pimpinan x bawahan, dsb;
b). Antonimi tak bergradasi adalah perlawanan tak berjenjang atau tak bertingkat karena relasinya tidak bersifat relatif, misalnya: ayah x ibu, kakek x nenek, dsb.
3). Orthogonal dan antipodal;
a). Antonimi orthogonal adalah perlawanan makna kata yang oposisinya tidak bersifat diametrik, kata utara berantonimi orthogonal dengan semua arah mata angin (kecuali selatan);
b). Antonimi antipodal adalah perlawanan makna kata yang oposisinya bersifat diametrik, contohnya: utara x selatan, timur x barat, kaya x miskin, dsb.
4). Antonimi direksional adalah perlawanan makna kata yang oposisinya ditentukan berdasarkan gerak menjauhi dan mendekati suatu tempat, contohnya: pulang x pergi, ke sana x ke mari;
5). Antonimi relasional adalah perlawanan makna kata yang oopsisinya bersifat kebalikan, misalnya: atas x bawah, orang tua x anak, guru x murid, suami x istri.
Abdul Chaer (1989:93-96) berdasarkan sifatnya membedakan antonimi menjadi:
1). Antonimi mutlak, sejalan dengan antonimi biner;
2). Antonimi kutub, pemahamannya sama dengan antonimi antipodal;
3). Antonimi hubungan, sesuai dengan antonimi relasional;
4). Antonimi hierarkial, sejalan dengan antonimi bergradasi;
5). Antonimi majemuk, pemahamannya sama dengan antonimi nonbiner.

3. Polisemi
a. Hakikat Polisemi
Polisemi diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frasa) yang memiliki makna lebih dari satu (Abdul Chaer, 1990:104). Pernyataan yang sama menyebutkan bahwa polisemi adalah sebuah bentuk kebahasaan yang memiliki berbagai macam makna, perbedaan makna yang satu dengan yang laindapat ditelusuri atau dirunut sehingga sampai pada kesimpulan bahwa makna-makna tersebut berasal dari sumber yang sama (Wijana dan M. Rohmadi, 2008:41).
Allan dalam Wijana dan M. Rohmadi (2008:41) mendefinisikan polisemi sebagai unsur emik yang memiliki dua makna atau lebih. Dalam leksikografi, kata-kata berpolisemi dimasukkan dalam satu entri yang sama bersama berbagai kemungkinan maknanya.
b. Faktor-faktor Munculnya Polisemi
Ullmann dalam Wijana dan M. Rohmadi (2008:44) menyebutkan bhawa polisemi terbentuk karena beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1). Pergeseran pemakaian;
Pemakaian bahasa yang sangat luas menyebabkan makna sebuah kata mengalami pergeseran. Jika pergeseran makna masih dekat, maka penutur kemungkinan masih bisa mengenali hubungan makna yang baru dengan makan primer (makna semula). Sedangkan ketika pergeseran maknanya sudah jauh, maka penutur akan kesulitan menemukan hubungan makna baru dengan makna primernya.
2). Spesialisasi dalam lingkungan sosial;
Lingkungan sosialseringkali memiliki kata-kata yang maknanya khas yang berbeda dengan makna kata dalam penggunaan biasa. Contohnya asam garam, dalam lingkungan sosial bisa berarti pengalaman, sedangkan secara linguistik mempunyai makna sebagai bumbu-bumbu masakan.
3). Bahasa figuratif;
Bahasa figuratif adalah bahasa-bahasa yang membentuk metafora-metafora karena adanya penyimpangan penerapan makna suatu referen. Misalnya kata lintah mempunyai arti hewan yang menghisap darah, tapi kata lintah dalam lintah darat bisa berarti rentenir.
4). Penafsiran kembali pasangan berhomonim;
Kata-kata yang secara sinkronis mempunyai hubungan homonimi, maka secara diakronis mungkin sekali berhubungan membentuk polisemi. Contohnya dalam kata kuda dengan kuda-kuda, secara sinkronis merupakan homonimi yang berhomograf dan berhomofon, tapi bisa juga menjadi polisemiberdasarkan konsep maknanya, kuda adalah binatang berkaki empat yang kuat, sedangkan kuda-kuda adalah sikap atau posisi dalam silat yang merupakan posisi yang kuat, atau bisa juga salah satu bagian rumah yang merupakan kerangka untuk atap dan harus kuat.
5). Pengaruh bahasa asing.
Konsep-konsep bahasa asing yang masuk ke dalam bahasa Indonesia juga mengakibatkan perubahan pada makna kata-kata bahasa yang dimasukinya. Misalnya kata ranjau, dalam makna primer berarti bambu yang ditajamkan kemudian ditanam sebagai perangkap, setelah mendapat pengaruh bahasa asing arti ranjau berarti bom yang ditanam di dalam tanah.
c. Contoh Polisemi
1). Kepala → * bagian tubuh (manusia, binatang) dari leher ke atas * sesuatu yang kedudukannya di atas atau terutama (yang terpenting, yang pokok) * pemimpin.
Contoh dalam penggunaannya:
a). Kepala orang itu terluka akibat lemparan batu.
b). Penulisan dalam kepala surat dinas itu masih kurang tepat.
c). Kepala Program Studi (Kapodri) sedang tidak berada di tempat karena menghadiri rapat pimpinan.
2). Kaki → * anggota tubuh bagian bawah untuk berjalan * bagian sesuatu yang letaknya di sebelah bawah * sesuatu yang fungsinya sebagai penopang untuk berdiri.
Contoh dalam penggunaannya:
a). Kaki model itu jenjang.
b). Persawahan di kaki gunung itu nampak subur.
c). Kaki meja kayu itu sudah patah.
3). Akar → * bagian tumbuhan yang berfungsi menyerap makanan dan penguat batang * sangat mendalam * salah satu hal dalam matematika.
Contoh dalam penggunaannya:
a). Tumbuhan itu berakar serabut..
b). Sifat buruknya sudah sangat mengakar sehingga sulit untuk disadarkan.
c). Akar pangkat tiga dari 8 adalah 2.

C. Simpulan
Bahasa Indonesia mengenal adanya berbagai makna kata yang berhubungan dengan kata-kata lainnya. Diantaranya adalah jenis kata sinonimi, antonimi, dan polisemi. Penjelasan dan penjabarannya telah disampaikan pada uraian bab Pembahasan. Berikut ini adalah simpulan secara garis besar inti dari uraian tersebut.
1. Sinonimi, secara harafiah, kata sinonimi berarti nama lain untuk benda atau hal yang sama, secara semantik mendefinisikan sinonimi sebagai ungkapan (dapat berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain;
2. Antonimi adalah antonim ialah ungkapan (biasanya kata, frase atau kalimat) yang dianggap bermakna kebalikan dari ungkapan lain;
3. Polisemi adalah kata-kata yang memiliki makna atau arti lebih dari satu karena adanya banyak komponen konsep dalam pemaknaan suatu kata.